Aku masih duduk disini, ditanah kelahiran ayahku, dengan ribuan juta kasih yang kubawa dari klaten, untuk ibunda ayahku, nenekku. Kedatanganku mungkin sangat dinantikan, sudah lama sekali aku tak berkunjung kesini. Tanah merah dengan taburan batu-batuan masih menghiasi halaman rumah nenekku, semuanya masih seperti 15 tahun yang lalu, rasakupun masih tetap sama, aku menyukai tempat ini.
Simbok, begitu panggilan ayahku padanya, seorang wanita sehat, lincah dan cantik yang telah berubah menjadi seseorang yang tak kukenal, menjadi seorang wanita tua, lemah dan lamban. Sebenarnya aku tak pernah menginginkan perubahan itu, tapi, inilah dunia, tak ada yang kekal didalamnya, usia nenek semakin bertambah, penyakit menjadi langganan, keriputpun pasti terjadi. “tak secantik dulu,” bisik hati kecilku saat mataku menatap wajah nenek yang mulai keriput. Ya sudahlah, walau wajahnya tak cantik lagi dan badannya mulai kurus, ia tetap nenekku, selamanya tetap nenekku, wanita yang melahirkan ayah.
Sudah menjadi tradisi nenek, saat aku datang berkunjung, ia selalu memelukku, mencium pipi kanan dan kiri lalu bertanya kabarku dan kabar orang tuaku, kadang airmatapun menetes, walau tak banyak. Pakaian model kuthu baru masih setia melekat dibadannya, rambut putih yang digelung, dan jarik batik warna coklat selalu menjadi pasangannya. Itulah yang membuatku selalu mengingatnya.
Sejak ditinggal kakekku 8 tahun tahun yang lalu, nenek tinggal bersama adik ayahku, Ome, begitu aku memanggilnya. Rumah papan yang selalu mengingatkan masa kecilku masih berdiri kokoh, sayangnya kondisinya tak seperti dulu, mungkin karena sudah lama tak ditinggali, karena nenekku tinggal dirumah Ome yang sudah bertembok kuat dengan fasiilitas yang lumayan mewah.
Setiap malam nenek selalu tidur bersama anak perempuan Ome, Ratri, adek sepupuku. Tapi, saat aku berkunjung, nenek selalu tidur didepan TV, merelakan kasurnya untukku, ia sangat sayang padaku, akupun juga. Umurku masih 6 tahun waktu itu, dan kadang aku bercekcok dengan Ratri, nenek tak pernah membela salah satu diantara kami, Nenek selalu adil pada cucu-cucunya, iapun tak suka bila cucunya saling bermusuhan, baginya semua cucu itu sama dimatanya, ia akan sangat sedih jika kami tak rukun.
Waktu berjalan sangat cepat, waktu itu terasa begitu singkat, tapi, semua kenangan masih membekas dalam hati, mungkin sampai mati. Kenangan adalah hal berharga dalam hidupku, mungkin beberapa orang berfikir sepertiku juga. Dengan mengenang, aku masih bisa membayangkan cantiknya wajah nenek, hangatnya kasih sayang kakek, serunya pertengkaranku dengan Ratri, dan kenangan lucu lainnya.
Kadang aku ingin kembali kemasa laluku, menjadi seorang bocah yang polos dengan ribuan kasih dari keluargaku, selalu dimanja dan dipuji oleh nenekku. Ah sudahlah, ini hanya kenangan, tapi ini tetap mengesankan.
Aku selalu belajar banyak hal disini, salah satunya belajar menghargai orang lain, nenek yang mengajarkannya padaku. Baginya saling menghargai itu penting, karena dengan menghargai, kerukunan tetap lestari. Nenek adalah inspirasiku, semangatku, motivator dalam hidupku dan penunjuk arah suksesku.
Kunjungan kali ini bertepatan dengan jatuh sakitnya nenek, ibuku menyuruhku untuk berkunjung . Sejak kedatanganku, nenek selalu menunjukkan semangatnya dengan menyapu halaman rumah Ome, menunjukan padaku bahwa ia sudah sembuh, tapi aku tahu, ia hanya berpura-pura agar keluarganya tak mencemaskan kondisinya. Kurasa nenek merindukan anak-anaknya. Sudah lama sekali anaknya tak pernah pulang walau hanya sekedar berkunjung.
Enam anak nenek terpencar dibeberapa daerah setelah menikah, meninggalkan nenek bersama Ome dan bulikku disini, ia selalu merindukan anaknya, tapi tak sebaliknya untuk anak nenek. Kadang aku diam-diam menangis saat mendoakan nenek. Rasa kasihan terasa mengiris dadaku, perih rasanya melihat kerinduan nenek yang tak berbalas.
Ah sudahlah. Anak-anak nenek mungkin sedang mencari kesuksesannya masing-masing. Doakan saja mereka tak lupa dengan nenek dan suatu saat akan pulang dan mengunjungi nenek. Sabarya nek !